“Sebagai contoh, ketika Gibran menyentuh soal litium. Pertanyaannya tidak jelas arah dan tujuannya dalam konteks kebijakan nasional. Ini mencerminkan kurangnya pemahaman substansial tentang isu yang dibahas,” tuturnya.
Dia juga menilai perilaku Gibran menunjukkan kecenderungan lebih mengutamakan gimmick ketimbang substansi, seperti permainan anak sekolah daripada debat serius tentang masa depan bangsa.
Selain itu, kata Achmad Nur, sikap Gibran cenderung tengil dan kurang menghargai etika debat kebijakan, seperti yang diperlihatkan dalam interaksi dengan Muhaimin dan Mahfud MD, menunjukkan kekurangan dalam kematangan dan pemahaman etika politik.
“Gibran, dalam debat ini, tidak hanya gagal menunjukkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang matang, tetapi juga sebagai seseorang yang belum cukup serius dalam berkontribusi pada diskusi kebijakan publik,” ujarnya.
Achmad menilai kepemimpinan membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan untuk menarik perhatian, yakni perlu kedalaman, kematangan, dan komitmen terhadap substansi.
Dari apa yang telah disaksikan publik pada debat cawapres terakhir, katanya, Gibran masih jauh dari standar tersebut.
“Indonesia butuh sosok yang matang, tidak karbitan, bukan sekadar karena anak dari presiden, tetapi juga memiliki kebijaksanaan, pengetahuan, dan kematangan untuk membawa negara kita maju,” ujar Achmad Nur.
Namun, katanya, apa yang diperlihatkan Gibran dalam debat Minggu malam tidak mencerminkan kematangan.
“Sayangnya, dalam debat terakhir ini, Gibran menunjukkan bahwa dia masih lebih memprioritaskan gimmick daripada substansi yang sebenarnya,” kata Achmad Nur. (jpnn)
Komentar