Baik secara hukum maupun etika. Apalagi, lanjut Airlangga, hal ini juga berlangsung di tengah maraknya isu intervensi aparat negara yang akan semakin menciderai kualitas pemilu.
Dia menambahkan, jika hal ini benar-benar dipilih Jokowi maka akan melemahkan legitimasi atas hasil dari pilpres 2024.
“Hal-hal seperti ini, alih-alih menyatukan bangsa, keberpihakan Jokowi justru mempertajam polarisasi masyarakat. Apalagi jika berpihak kepada paslon pelanggar etika,” imbuhnya.
Polarisasi yang makin tajam itu bahkan sudah mulai terlihat ketika Jokowi terkesan ingin melemahkan paslon lain. Di antaranya, Jokowi yang secara langsung ikut turun ke bawah mendatangi daerah yang disambangi paslon nomor urut 03, Ganjar-Mahfud. Bahkan untuk memperkuat legitimasi dan pengaruhnya, Jokowi sengaja membagi-bagikan bansos.
“Ini rentan dimaknai sebagai manuver politik untuk melemahkan dukungan politik terhadap pasangan Ganjar-Mahfud,” imbuhnya.
Sementara Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menyebut jika merujuk undang-undang pemilu memang tidak ada yang mengatur secara pasti apakah presiden boleh kampanye atau memihak. Namun, menurutnya sebagai seorang presiden yang sudah dua periode menjabat semestinya Jokowi bisa bertindak bijak dan menahan diri.
“Sebagai seorang presiden yang sudah dua periode, seharusnya bisa bertindak bijak dan menahan diri. Seharusnya dia bisa tidak cawe-cawe berlebihan dan membiarkan rakyat yang menentukan siapa penggantinya,” kata aktivis yang akrab disapa Coki itu. (jpnn/*)